Pemasaran digital telah menjadi strategi pemasaran utama bagi banyak bisnis untuk menjangkau konsumen yang lebih luas secara daring. Melalui teknologi digital seperti media sosial, situs web, atau email, pemasaran menjadi lebih praktis. Dapat menjangkau konsumen secara spesifik berdasarkan usia, lokasi, atau minat, dan hasilnya dapat dipantau secara langsung. Kemajuan teknologi dan globalisasi telah menciptakan peluang ekonomi yang besar. Namun juga menghadirkan tantangan berupa ancaman siber dan potensi penyalahgunaan aktivitas bisnis digital. Oleh karena itu, selain berfokus pada kreativitas dan hasil, memahami aspek hukum dalam pemasaran digital sangat penting untuk menjaga bisnis tetap aman dan terpercaya. Artikel ini akan membahas berbagai aspek hukum yang wajib dipahami oleh pelaku usaha dalam menjalankan strategi pemasaran digital di Indonesia.

Definisi dan Keunggulan Pemasaran Digital
Pemasaran digital adalah metode pemasaran produk atau jasa menggunakan teknologi digital, seperti media sosial, situs web, atau email. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuannya menyasar target pasar secara spesifik, menampilkan iklan kepada orang-orang yang membutuhkan produk berdasarkan demografi atau minat, sehingga lebih tepat sasaran dan hemat biaya. Hasil kampanye dapat langsung terlihat dan strategi dapat diubah dengan cepat jika kurang efektif. Pemasaran digital tidak hanya hemat, tetapi juga efektif untuk memperkenalkan merek, menjalin hubungan dengan pelanggan, dan meningkatkan penjualan. Perkembangan tren belanja online juga telah diikuti dengan menjamurnya marketplace atau e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada, yang kini sangat dikenal masyarakat luas.
Baca juga: Strategi Digital Marketing untuk Brand Baru di Tahun 2025
Aspek Hukum dalam Pemasaran Digital
Di balik kemudahan dan efektivitas pemasaran digital, terdapat tanggung jawab besar dari sisi hukum yang harus dipenuhi. Kurangnya pemahaman terhadap aspek legal dapat menyebabkan masalah seperti pelanggaran privasi dan hak cipta. Berikut adalah beberapa aspek hukum penting:
1. Perlindungan Data Pribadi
Data pribadi konsumen merupakan aset yang sangat berharga dan rentan terhadap penyalahgunaan di dunia digital. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) mewajibkan pengusaha untuk menjaga keamanan data konsumen. Perlindungan data ini tidak hanya kewajiban hukum, tetapi juga menunjukkan kepedulian bisnis terhadap konsumen. Isu penyalahgunaan data pribadi konsumen seringkali marak terjadi seiring dengan perkembangan belanja daring.
2. Izin Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)
Bisnis berbasis digital di Indonesia wajib memahami dan mematuhi aturan terkait PSE. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik mengatur hal ini. Prosedur ini penting, terutama bagi bisnis yang menggunakan situs web, aplikasi, atau platform digital untuk pemasaran.
Contoh nyata adalah kasus TikTok Shop yang sempat dinonaktifkan karena dianggap belum mengantongi izin yang jelas sebagai e-commerce dan melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023. TikTok Shop kemudian bermitra dengan Tokopedia untuk dapat beroperasi kembali secara legal. Untuk mendapatkan legalitas, pelaku usaha wajib mengajukan permohonan melalui Online Single Submission (OSS) guna memperoleh Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE).
3. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Konten adalah aset utama dalam pemasaran digital, sehingga penting untuk memperhatikan aspek HAKI. Ini mencakup pendaftaran merek dagang, logo, hak cipta, dan desain produk. Pelaku usaha harus memastikan memiliki lisensi untuk semua materi promosi seperti gambar, video, atau musik, atau membuatnya sendiri. Merek dagang sangat penting sebagai penanda identitas komersial suatu usaha, terutama bagi startup dan e-commerce. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur perlindungan merek. Tanpa HAKI yang jelas, bisnis berisiko mengalami penggunaan kekayaan intelektual tanpa izin, persaingan tidak sehat, bahkan penurunan reputasi.
3. Iklan yang Jujur dan Tidak Menyesatkan
Konsumen berharap produk atau layanan yang dibeli secara daring sesuai dengan iklan. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang atau jasa menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi yang lengkap dan benar. Jika tidak, bisnis dapat melanggar Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan perlindungan bagi konsumen. Deskripsi produk, foto, dan klaim promosi harus akurat agar tidak menyesatkan konsumen.
4. Perjanjian dengan Influencer
Kerja sama dengan influencer adalah strategi utama dalam pemasaran digital. Penting untuk memastikan kerja sama ini dilandasi oleh kontrak tertulis yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk lingkup kerja, pembayaran, dan durasi. Adanya kontrak ini menjadikan hubungan bisnis lebih jelas dan sah secara hukum, melindungi kedua pihak dari pelanggaran kesepakatan.
5. Pengawasan Persaingan dalam Pemasaran Digital
Peran hukum dalam bisnis digital juga menciptakan lingkungan persaingan bisnis yang sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU berfungsi untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan tidak sehat seperti diskriminasi, eksploitasi, perjanjian eksklusif, predatory pricing, atau penyalahgunaan posisi dominan. Contoh kasus adalah penyelidikan KPPU terhadap Google yang diduga melakukan praktik monopoli dengan mewajibkan penggunaan Google Play Billing dan menetapkan tarif 15-30% dari setiap pembelian, yang berpotensi melanggar Pasal 25 UU No. 5 Tahun 1999. Untuk memudahkan masyarakat melapor, KPPU juga telah mengeluarkan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Perkara Secara Elektronik.
5. Perlindungan terhadap Konsumen dalam Pemasaran Digital
Konsumen di era digital sering menghadapi masalah seperti produk cacat, informasi tidak jujur, keterlambatan pengiriman, atau risiko privasi dan keamanan transaksi yang tidak terjamin. Hukum berperan melindungi konsumen yang juga merupakan pelaku dalam bisnis digital. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan upaya perlindungan hukum bagi konsumen. UUPK mengatur hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha, dan sistematika penanganan sengketa. Pelaku usaha diwajibkan untuk beritikad baik, memberikan informasi yang benar, jelas, jujur, serta menjamin mutu barang atau jasa. Kasus penipuan yang dilakukan Grabtoko yang merugikan 980 konsumen dengan total kerugian 17 Miliar Rupiah merupakan contoh penegakan hukum terhadap pelaku usaha digital.
Kesimpulan
Peran hukum dalam perlindungan bisnis era digital di Indonesia mencakup tiga aspek besar: pemberian legalitas bisnis, pengawasan persaingan bisnis digital, dan perlindungan terhadap konsumen. Legalitas bisnis penting melalui perizinan usaha (SIUPMSE) dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (merek dagang). Pengawasan persaingan dilakukan oleh KPPU untuk menjaga iklim usaha yang kondusif. Perlindungan konsumen diatur oleh UU ITE dan UUPK, meskipun masih memerlukan peningkatan regulasi dan kerja sama lintas negara untuk kasus lintas yurisdiksi. Keberhasilan peran hukum ini sangat bergantung pada implementasi yang baik serta koordinasi dan kerja sama yang solid antara pemerintah, pelaku usaha, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya. Memahami dan mematuhi aspek-aspek hukum ini adalah fondasi bagi bisnis digital yang aman, terpercaya, dan berkelanjutan.
Referensi
- Aspek Legal dalam Digital Marketing: Tips Agar Bisnis Tetap Aman!
- “Aspek-Aspek Hukum Bisnis Digital, E-Commerce
- Hukum Marketing: Prinsip dan Aspek Hukum dalam Pemasaran